Masih ingat nasib gedung bekas gudang Westzijdsche Pakhuizen alias Museum Bahari? Gedung berusia lebih dari 350 tahun itu masuk dalam bangunan cagar budaya DKI Jakarta. Kondisinya makin rapuh sebab terlalu lama dibiarkan melapuk. Beberapa gelagar gedung bahkan ambruk awal tahun ini.
JAKARTA - Masa liburan tahun ini barangkali bisa dimanfaatkan untuk mengunjungi beberapa museum dan bangunan bersejarah. Sisanya bisa disambangi pada kesempatan lain. Museum Sejarah Jakarta atau Museum Fatahillah adalah penanda berdirinya Kota Jakarta. Nama Fatahillah diambil dari nama Panglima Fatahillah, yakni pendiri Kota Jakarta.
Gedung yang dibangun pada tahun 1620 oleh Gubernur Jenderal Jan Pieterzoen Coen untuk balai kota ini diresmikan sebagai Museum Sejarah Jakarta pada 30 Maret 1974.
Museum ini memiliki 23.500 koleksi benda bersejarah. Beberapa koleksinya antara lain meriam Si Jagur, pembatas ruang, patung Hermes, pedang eksekusi tahanan zaman VOC, dan lukisan Gubernur Jenderal VOC Hindia Belanda dari 1602 hingga 1942. Ada pula meja bulan berdiameter 2,25 meter tanpa sambungan, prasasti, dan senjata.
Gedung yang dibangun pada tahun 1620 oleh Gubernur Jenderal Jan Pieterzoen Coen untuk balai kota ini diresmikan sebagai Museum Sejarah Jakarta pada 30 Maret 1974.
Museum ini memiliki 23.500 koleksi benda bersejarah. Beberapa koleksinya antara lain meriam Si Jagur, pembatas ruang, patung Hermes, pedang eksekusi tahanan zaman VOC, dan lukisan Gubernur Jenderal VOC Hindia Belanda dari 1602 hingga 1942. Ada pula meja bulan berdiameter 2,25 meter tanpa sambungan, prasasti, dan senjata.
Sejarah Museum Bahari erat kaitannya dengan pelabuhan Sunda Kelapa. Berada dibawah kekuasaan Persatuan Dagang Belanda di Hindia Timur atau Vereenigde Oost-Indische Compagni (VOC), pelabuhan ini berkembang sangat pesat sebagai pelabuhan transit internasional, dan menjadikan Batavia menjadi bandar terpenting di Asia. Di sini kaum kolonial sibuk mengatur dokumen ribuan barang dagangan, perhitungan, pelaporan, dan pemeriksaan sebelum diteruskan ke gudang dan kantor-kantor di sekitar Kasteel Batavia (kini Pasar Ikan). Untuk itu, dibangunlah sebuah gudang tempat penyimpanan ribuan macam barang dagangan, termasuk rempah-rempah, sebelum didistribusikan ke dalam kota maupun luar negeri.
Gudang ini merupakan bagian dari kompleks Westzydsche Pakhuizen atau kompleks gudang sebelah barat Sungai Ciliwung. Gudang yang dibangun pada 1652 ini mengalami beberapa kali pertambahan ruang hingga tahun 1774. Setelah masa Kemerdekaan, gudang ini menjadi kantor telekomunikasi. Dan pada 17 Juli 1977 ia diresmikan menjadi Museum Bahari.
Masuk ke dalam, di sebelah kanan, terdapat sebuah ruangan besar yang memuat banyak kisah tentang kota dan pelabuhan-pelabuhan di nusantara. Kisah-kisah itu ditulis di papan-papan besar dan tergantung di sepanjang ruangan. Kisah Sunda Kelapa, Jayakarta, Tanjung Priok, dan jenis-jenis kapal tradisional dari berbagai daerah ada di sini. Yang paling menarik perhatian saya adalah replika kapal-kapal dari berbagai daerah.
Kapal Van Deuyfken, misalnya. Kapal ini merupakan kapal layar milik VOC yang pertama kali datang ke Indonesia pada 1595. Selain menjadi kapal suplai, kapal ini juga berfungsi sebagai kapal penjelajah dan perintis. Kapal yang datang untuk mencari rempah-rempah ini semula tiba di Banten. Tapi karena tidak disambut baik di Banten, Belanda meminta izin penguasa Jayakarta untuk membangun pusat perdagangan dan benteng. Dibawah kepemimpinan Jan Pieterszoon Coen, Gubernur Jenderal VOC, Belanda akhirnya menyerbu kota Islam Jayakarta dan menamainya Batavia pada tahun 1619. Batavia menjadi ibukota administrasi dan militer “kekaisaran niaga” VOC dan menjadikannya sebuah kota yang dikenal sebagai “Ratu dari Timur”.